Alunan
bel pulang sekolah terngiang merdu di telingaku. Jauh lebih merdu dibandingkan
bel istirahat dan pergantian pelajaran eksak. Aroma kebahagiaan terpancar di
raut wajah manusia-manusia yang merindukan masakan ibu, kasur nan empuk, dan
atmosfir kamar yang menenangkan jiwa. Tetapi, tidak bagiku. Tak sedikitpun rasa
ingin pulang hinggap dalam hatiku. Yang aku inginkan hanyalah pergi kemanapun
itu, kecuali rumah.
Aku
tak pernah suka tempat itu setelah umurku beranjak remaja. Mama dan papa yang
selalu bertengkar karena hal-hal sepele. Tak heran kusebut tempat itu sebagai
neraka. Ingin rasanya kubuat mereka bisu
agar tak ada lagi yang bisa bersuara. Atau aku yang menjadi tuli agar tak bisa
mendengar pertengkaran mereka.
Bergegas
kurapikan semua buku dan alat tulisku. Kumasukan semuanya ke dalam tas. Semua temanku
telah meninggalkan kelas. kecuali aku yang sedikit lamban melakukan hal itu.
Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekatiku.
“Ikutlah
denganku! Kau akan dapatkan semua yang kau inginkan. Tinggalkan dunia yang
kejam ini. Kau terlalu lemah untuk jalani kehidupan yang menyedihkan ini. Dia
telah keliru memberimu takdir. Kau tidak pantas mendapatkan kehidupan seperti
ini.” Bisiknya dan langsung menggenggam erat tangan kananku.
Tubuh dan batinku bergetar melihat makhluk yang bertubuh
besar dengan jubah hitam itu. kulitnya dingin, pucat pasi. Tak berani ku
memandang wajahnya. Nyaliku terlalu kecil untuk melakukan hal itu. Aku
terguncang hebat, sangat hebat.
“Kau siapa? Apa maksudmu berkata seperti itu? Lepaskan tanganku!”
Bentakku dengan keras. Tak lama kemudian, makhluk itu melangkah menjauhiku dan
menghilang dengan cepat.
Aku menangis sejadi-jadinya. Ribuan pertanyaan
menggelayuti pikiranku. Kulangkahkan kaki yang lemah ini dengan langkah rapuh.
Aku mencoba berlari menyusuri koridor kelas yang saat itu berubah menjadi
sendu. Tak kulihat aktivitas siswa yang
mengikuti ekstrakulikuler di sekolah, benar-benar sepi.
Sampailah aku di gerbang sekolah dengan sisa nafas yang
tersenggal-senggal. Hawa dingin menghampiri tubuhku. Tiba-tiba seseorang
memanggilku dari belakang.
“Lena, Alena.” Bisik seseorang sambil menepuk pundakku.
***
“Alena, bangun!” Ulangnya, sambil menepuk pundakku agak
keras.
Aku terperanjat dari tidurku dan tersadar bahwa tadi
hanyalah sebuah mimpi. Ternyata aku tertidur sesaat setelah merapikan buku.
“Eh, I iya. Ada apa?“ Tanyaku sedikit gugup.
“Aku lagi cari flashdisk yang kemarin ketinggalan waktu ngerjain
tugas. Kebetulan duduk disini. Kamu bisa
minggir sedikit?” Jelasnya sambil melirik ke arah mejaku.
“Yaudah cari aja. Lagian aku udah mau pulang kok. Selamat
mencari, Dik. Bye,” jawabku, lalu berjalan ke arah pintu.
“Hati-hati, Len.” Katanya sambil tersenyum.
Aku mengangguk sambil berlalu meninggalkannya. Tak terasa
mataku berkaca-kaca setelah perjumpaan itu. Ia terlihat masih seperti dulu.
Senyum dan tatapannya, sama seperti saat ia menaruh hati padaku. Dika adalah
sahabatku. Ia selalu mencari jalan keluar ketika aku tertimpa masalah. Sampai
satu saat, Rilla mengatakan bahwa Dika menyukaiku. Aku tak merasa senang
mendengarnya. Tetapi malah kecewa karena sahabatku sendiri menaruh hati padaku.
Dika mencoba mendekatiku. Tetapi aku tak perduli dengan usahanya. Beberapa
waktu kemudian aku jatuh cinta padanya. Tapi apa yang terjadi, tak lama setelah
itu Dika menjauhiku begitu saja tanpa sempat mengungkapkan perasaannya padaku.
Aku masih tak habis pikir, kenapa dia setega itu padaku.
Aku sangat kebingungan dan bertanya-tanya dalam hati. Aku selalu menduga-duga
atas apa yang terjadi padanya. Mungkin aku tidak terlalu istimewa untuknya sehingga
perjuangannya hanya cukup sampai disitu. Tak ada sedikitpun keinginan untuk
bertanya tentang hal itu padanya.
***
“Ma, Lena pulang,” teriakku.
“Masih ingat jalan pulang, Len?” Mama membalas teriakanku
dengan nada sinis.
“Mama kok ngomong kaya gitu? Lena baru pulang lho ma. Apa
mama gak suka kalo Lena pulang ke rumah? Apa mama gak suka Lena tinggal disini?”
Jawabku dengan nada yang tinggi.
“Lho kok kamu sewot sama mama sih? Ini mama kamu, Len”.
Mama membalasnya dengan nada yang lebih tinggi.
“Terserah mama aja! Lena gak mau terlalu panjang berdebat
sama mama!”. Sambil berlalu begitu saja.
Aku berjalan menuju kamarku. Menyusuri tangga dengan
penuh amarah. Aku membenci pertanyaan mama yang sangat menyinggungku. Rasa sesal
karena telah pulang ke rumah tumbuh dalam hatiku. Semakin cepat ku langkahkan
kaki sampai aku menemui daun pintu yang terasa cocok untuk melampiaskan semua amarah ini. Ku banting
sekeras mungkin. Tak perduli apa yang akan dikatakan mama kepadaku setelah itu.
Aku menunggu reaksi mama. Tetapi, mama tak sedikitpun menggubris tindakanku.
Tak lama kemudian ku dengar suara mobil yang tak asing di
telingaku. Itu suara mobil papa. Ku lihat dari jendela papa yang keluar dari
mobil. Sejenak ku teringat apa yang selalu aku lakukan saat masih kecil ketika
papa pulang. Aku berlari dan langsung memeluknya dengan erat. Menanyakan apa
yang dia bawa untukku hari ini. Sedangkan, disisi lain mama tersenyum dan
terlihat sangat bahgia. Aku sadar dulu dan sekarang adalah kebalikan. Semuanya
telah hilang. Tak pernah kulihat mereka saling tersenyum lagi.
Aku mendengar keributan lagi. Air mataku terjatuh sangat deras. Kutatap foto yang
terpajang rapi di atas meja disamping tempat tidurku. Kubanting benda itu
sampai kacanya pecah tak berbentuk. Kuhempaskan tubuh ini ke kasur, lalu
menatap langit-langit kamarku dan tertidur lelap.
***
Aku terbangun. Segera kulihat jam dinding yang menunjukan
pukul 21.00. Bergegas ku menuju kamar mandi dan membersihkan tubuhku. Setelah
selesai, kukenakan kaos putih dan celana pendek selutut. Kusisir rambut hitam
panjangku dengan perlahan, sambil menatap cermin. Mengapa raut wajahku terlihat
sangat sedih. Ini sangat berbeda ketika kecil ku tatap benda ini, sangat ceria.
Tuhan, kembalikan senyumku yang tulus. Bisikku
dalam hati.
Malam itu, aku terdiam didekat jendela. Kubuka perlahan
jendela yang berukuran cukup besar. Dingin, basah. Ku hirup perlahan aroma
tanah kering yang dibasahi oleh air hujan. Aku selalu suka dengan hujan. Seketika,
hujan bisa melepas semua kepenatanku
selama ini.
Kulihat sorot lampu sepeda motor dari kejauhan. Menembus
derasnya hujan malam itu. Sepeda motor itu berhenti tepat di gerbang depan
rumahku. orang yang mengendarainya terlihat memakai jaket hitam dan helm yang kacanya
ditutup. Bergegas ku berjalan menuju luar kamar. Ku ambil stick baseball kepunyaan papaku. Kuturuni tangga dengan
tergesa-gesa. Kulihat mama dan papa sedang sibuk dengan kesibukannya
masing-masing. Aku terus berlari ke arah pintu.
Kubuka pintu depan rumahku. Aku terkejut karena tidak ada
seorang pun di luar rumah. Aku makin ketakutan. Aku berpikir yang tidak-tidak. Siapa tahu orang itu bersembunyi di tempat
lain disisi rumahku. Ah, sudahlah. Aku harus berpikiran positif. Mungkin orang
tadi mencari barang yang terjatuh ketika mengendarai motor. Pikirku dalam hati.
Aku kembali ke kamar tidurku. Kurebahkan kembali tubuhku
diatas tempat tidur. Ku pejamkan kedua mataku dan terlelap sambil berharap ada
kekuatan baru untuk jalani hari selanjutnya.
***
Aku terperanjat dari tidurku yang lelap. Jantungku
tersentak ketika mendengar bentakan papa yang lebih marah dari sebelumnya.
Suaranya sangat keras dan mengerikan. Belum lagi, jeritan mama yang melengking.
Membuat bulu kudukku merinding. Aku sangat ketakutan. Kutarik selimut sampai
menutupi seluruh tubuhku. Kuambil bantal dan kugunakan itu untuk menutup
telingaku. Aku menangis. Sesak dalam dada kini melandaku. Aku masih
bertanya-tanya. Apa yang mereka ributkan
dipagi buta seperti ini?.Tanyaku dalam hati.
Suara pertengkaran itu sudah hilang. Aku masih takut
untuk keluar kamar. Tapi kuberanikan untuk keluar dan mempertanyakan semuanya.
“Ma, pa ? Ada apa?. Jujur, batin Lena sangat tersiksa. Mama
dan papa selalu bertengkar. Lena tak pernah tahu apa yang kalian pertengkarkan.
Lena tak pernah ingin untuk tahu. Lena
sangat rindu masa kecil Lena yang dipenuhi oleh senyum kebahagiaan. Lena sangat
rindu senyuman papa dan mama. Lena sangat rindu kasih sayang kalian. Dimana hati kalian? Apa Lena sudah tidak
penting lagi ? Apa Lena sudah tidak ada harganya lagi?. Setiap hari Lena harus
merasakan sakit yang teramat dalam. Setiap hari Lena selalu menangisi keaadaan
keluarga kita yang sudah tak semenyenangkan dulu. Ini sebabnya Lena tak betah
dirumah, selalu tak ingin pulang ke rumah. Ma, pa, tolong sadarkan diri kalian
masing-masing.” Ujarku panjang lebar, meluapkan semua kegelisahan dan emosiku
sambil terisak.
Seketika, mama dan papa terdiam. Kemudian, mereka berlalu
tanpa ekspresi yang aku harapkan sebelumnya.
Aku hanya mematung sambil memandang langkah kaki mereka. Kali
ini, aku benar-benar kecewa. Aku tidak menyangka, hati kedua orang tuaku sudah
benar-benar membatu. Akhirnya, kuputuskan untuk pergi dari rumah.
***
Kukemasi semua bajuku. Kumasukkan semuanya ke dalam
ransel besar. Tak membutukan waktu yang lama, semuanya sudah siap. Aku akan
pergi ke tempat yang jauh. Tak ada seorang pun yang mengetahui keberadaanku.
Kubuka pintu kamarku. Aku sangat terkejut. Ku melihat mama
dan papa berdiri di depan pintu.
“Len. Maafkan mama yang selama ini sudah berlaku tidak
baik terhadap kamu. Mama benar-benar minta maaf Len. Mama berjanji akan jadi
mama yang baik untuk kamu. Mama dan papa sudah berjanji tidak akan bertengkar
lagi. Jujur, kami berdua pun sangat rindu masa-masa itu. Untuk itu, hari ini
dan seterusnya kami akan seperti dulu lagi, Len. Lena tetap kesayangan mama dan
papa kapanpun itu,” kata mama dengan lemah lembut.
“Mama…” Bisikku lirih. Tak lama kemudian, air mataku
menetes.
“Len, papa minta maaf sudah menjadi papa yang buruk
selama ini. Papa sadar papa tidak pernah memperdulikanmu. Tapi untuk sekarang,
papa akan menjadi papa yang sebenarnya untuk kamu. Kita tidak akan pernah
bertengar lagi sampai kapanpun. Papa berjanji Len. Lena mau memaafkan mama dan
papa?” Ujar papa sambil menatap mataku dalam-dalam.
“Iya pa, Lena sudah memaafkan kalian. Lena sayang papa
dan mama selamanya.” Aku tersenyum menahan haru.
Kami pun berpelukan.
Semoga semuanya dapat kembali seperti dulu. Pintaku dalam hati.
***
Hari demi hari ku jalani. Semua benar-benar kembali
seperti dulu. Aku sangat bahagia dengan keadaan ini. Aku tak pernah menyangka
semuanya bisa terjadi. Aku sangat bersyukur tuhan dapat memberikanku kesempatan
untuk dapat merasakan kebahagiaan ini lagi.
“Lena, bangun.. sudah siang, nak.” Suara lembut mama
membangunkanku.
“Iya ma, Lena sudah bangun,” jawabku sambil bangkit dari
tempat tidur.
Aku bersiap untuk pergi ke sekolah. Aku berjalan ke meja
makan. Tak seperti biasanya, papa sudah duduk disana, sedangkan mama sedang
sibuk menyiapkan makanan.
“Eh, putri papa sudah bangun. Sini, kita sarapan dulu.
Mama sudah siapkan nasi goreng kesukaan kamu.” Ajak papa sambil tersenyum ke
arah aku dan mama.
“Iya pa,” jawabku dengan senyum sumringah.
Kami bertiga sarapan bersama. Meskipun terasa aneh, tapi
inilah yang aku inginkan selama ini. Kami pun berbincang-bincang. Kemudian,
papa mengantarku ke sekolah.
***
Tak henti-hentinya aku menebar senyum kepada siapapun.
Setibanya di sekolah aku langsung duduk rapi dan menyiapkan buku pelajaran dan masih
tetap tersenyum.
“Hayo… senyam senyum terus, ada apa sih? Bikin penasaran
aja?” Tanya Rilla. Ia terlihat sangat keheranan karena sudah lama tidak melihat
senyumku.
“Aku seneng banget Rill. Soalnya keluarga aku udah
kembali kaya dulu lagi.”
“Oh ya? Syukurdeh. Aku ikut seneng Len,” sambil memelukku.
“Makasih Rill, kamu memang the best.” Sambil membalas pelukannya.
“Iya, Len. Udah sepatutnya kita senengkan kalo sahabat
kita seneng. Lagian, kamu udah lama bangetkan mendambakan keadaan keluarga kamu
yang kaya gitu?. Len, aku punya ini buat kamu,” sambil memberikan sepucuk
surat.
“Dari siapa Rill? Masih zaman nih kaya beginian?” Aku
tertawa kecil dan berpikir bahwa ini adalah surat cinta murahan dari adik
kelas.
Kemudian, aku pun membuka surat itu dan membacanya.
Dear Lena,
Apa kabar Len?
Sebelum kamu baca lebih lanjut, aku
pengen kamu perem dan bayangin wajah jelek aku. Setelah itu, aku harap
kamu bisa senyum. Karena sudah lama aku
ga lihat senyum manis kamu.
Lena, inget ga dulu kita pernah
sedeket apa? Inget ga dulu waktu aku nganterin kamu pulang motor aku ketabrak
mobil yang lagi mundur tapi kamu malah jalan terus tanpa nolongin aku? Inget ga
waktu kita hujan-hujanan main basket? Inget ga semua waktu yang pernah kita
lewati sama-sama. Kamu tahu, aku ga akan pernah lupa semuanya. Masa-masa
terindah adalah saat sama kamu. Tapi semuanya musnah waktu aku menyerah gitu
aja,aku ga berani buat ngungkapin semuanya karna dengar kamu sangat menyukai
orang lain, aku Cuma takut kecewa karena nantinya kamu tolak aku.
Kemarin malam aku beraniin diri buat
datang ke rumah kamu dan bilang semuanya. Waktu itu hujan sangat deras, bajuku
basah kuyup. Aku sudah sampai di depan rumah kamu, tapi aku gak yakin buat
seberani itu. Lalu aku putuskan buat kembali ke rumah.
Lena, coba keluar kelas dan lihat ke
bawah. Lihat, ada apa di lapangan basket.
Perasaanku sangat tak karuan membaca surat itu. Aku terdiam
sejenak, dan bergegas keluar kelas. Aku tak melihat ada yang aneh disana. Aku mencoba
kembali ke dalam kelas. Setibanya dipintu, aku mendengar suara Dika yang
memanggilku.
“Lena… Lihat ke bawah.”
Aku sangat terkejut, dan aku menuruti panggilan itu. Aku
melihat barisan orang membawa kertas dengan tulisan satu huruf per kertas. Aku
melihat semua siswa keluar dari kelasnya dan suasana menjadi sangat riuh. Aku
mencoba membaca tulisan itu, ternyata itu tulisan…
“I LOVE YOU, LENA. WOULD YOU BE MY
GIRLFRIEND?”
Tak
lama kemudian, Dika berbicara.
“Lena,
aku minta maaf dulu aku ga seberani ini. Dulu aku terlalu cemen buat ngungkapin semuanya. Sekarang aku sadar, aku ga bisa
mendem semuanya lama-lama. Kamu mau maafin aku dan jadi pacar aku?” Dika
memandangku dengan wajah penuh harap.
Pipiku memerah menyaksikan semuanya. Ini adalah apa yang
pernah aku bayangkan saat hujan turun beberapa bulan lalu. Aku tak pernah
menyangka ini bisa terjadi.
Tiba-tiba, hujan turun sangat deras. Dika tetap berada
ditengah lapangan. Sementara, aku masih terdiam di koridor atas. Aku tak tahu
harus bagaimana. Demi kebaikannya, aku menyuruhnya untuk berteduh.
“Dika, hujan, Dik. Minggir ke koridor! jangan disitu!” Aku
berteriak.
“Kamu jawab dulu pertanyaan aku.” Balas Dika.
“Iya Dik. Aku mau jadi pacar kamu. Aku udah maafin kamu
kok.” Jawabku.
Aku berteriak sangat kencang. Semua orang melihat ke
arahku. Kulihat Dika tersenyum sangat bahgia. Seketika hujan berhenti dan
munculah pelangi. Ini adalah moment
paling indah seumur hidupku.
Tiba-tiba…
Byurrr…
“Banjir, banjir,
banjirr.., Ada banjir.” Aku sangat panic dan berteriak sekeras ku bisa.
***
Kubuka kedua mataku, ku lihat papa yang sedang
menggenggam botol air mineral.
“Len,
udah sampe depan sekolah nih. Maaf ya papa nyipratin air ke muka kamu. Abisnya
kamu susah banget buat dibangunin,” ujar papa.
“Eh,
iya pa. udah sampe yah?” Tanyaku, sedikit salah tingkah. Kemudian merapikan
rambutku.
“Iya.
Cepet keluar gih, nanti gerbangnya keburu ditutup,” kata papa melihat kea rah
gerbang sekolah.
“Oke
pa, Lena pamit ya pa,” Sambil mencium tangan papa lalu membuka pintu mobil.
“Hati-hati,
belajar yang bener ya,” sambil tersenyum.
“Siap
pa,” jawabku semangat dan keluar dari mobil.
Aku
berjalan menuju kelas sambil mengingat kembali kejadian dalam mimpiku tadi. Aku
merasa sedikit kecewa karena itu hanyalah sebuah mimpi, tapi disisi lain aku
merasa senang karena itu adalah mimpi yang paling indah yang pernah aku rasakan.
0 komentar:
Posting Komentar