Selasa, 01 Maret 2016

Awan Putih Kelabu



Alunan bel pulang sekolah terngiang merdu di telingaku. Jauh lebih merdu dibandingkan bel istirahat dan pergantian pelajaran eksak. Aroma kebahagiaan terpancar di raut wajah manusia-manusia yang merindukan masakan ibu, kasur nan empuk, dan atmosfir kamar yang menenangkan jiwa. Tetapi, tidak bagiku. Tak sedikitpun rasa ingin pulang hinggap dalam hatiku. Yang aku inginkan hanyalah pergi kemanapun itu, kecuali rumah.
Aku tak pernah suka tempat itu setelah umurku beranjak remaja. Mama dan papa yang selalu bertengkar karena hal-hal sepele. Tak heran kusebut tempat itu sebagai neraka. Ingin rasanya kubuat mereka  bisu agar tak ada lagi yang bisa bersuara. Atau aku yang menjadi tuli agar tak bisa mendengar pertengkaran mereka.
Bergegas kurapikan semua buku dan alat tulisku. Kumasukan semuanya ke dalam tas. Semua temanku telah meninggalkan kelas. kecuali aku yang sedikit lamban melakukan hal itu. Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekatiku.
            “Ikutlah denganku! Kau akan dapatkan semua yang kau inginkan. Tinggalkan dunia yang kejam ini. Kau terlalu lemah untuk jalani kehidupan yang menyedihkan ini. Dia telah keliru memberimu takdir. Kau tidak pantas mendapatkan kehidupan seperti ini.” Bisiknya dan langsung menggenggam erat tangan kananku.
            Tubuh dan batinku bergetar melihat makhluk yang bertubuh besar dengan jubah hitam itu. kulitnya dingin, pucat pasi. Tak berani ku memandang wajahnya. Nyaliku terlalu kecil untuk melakukan hal itu. Aku terguncang hebat, sangat hebat.
            “Kau siapa? Apa maksudmu berkata seperti itu? Lepaskan tanganku!” Bentakku dengan keras. Tak lama kemudian, makhluk itu melangkah menjauhiku dan menghilang dengan cepat.
            Aku menangis sejadi-jadinya. Ribuan pertanyaan menggelayuti pikiranku. Kulangkahkan kaki yang lemah ini dengan langkah rapuh. Aku mencoba berlari menyusuri koridor kelas yang saat itu berubah menjadi sendu.  Tak kulihat aktivitas siswa yang mengikuti ekstrakulikuler di sekolah, benar-benar sepi.
            Sampailah aku di gerbang sekolah dengan sisa nafas yang tersenggal-senggal. Hawa dingin menghampiri tubuhku. Tiba-tiba seseorang memanggilku dari belakang.
            “Lena, Alena.” Bisik seseorang sambil menepuk pundakku.
***
            “Alena, bangun!” Ulangnya, sambil menepuk pundakku agak keras.
            Aku terperanjat dari tidurku dan tersadar bahwa tadi hanyalah sebuah mimpi. Ternyata aku tertidur sesaat setelah merapikan buku.
            “Eh, I iya. Ada apa?“ Tanyaku sedikit gugup.
            “Aku lagi cari flashdisk yang kemarin ketinggalan waktu ngerjain tugas. Kebetulan  duduk disini. Kamu bisa minggir sedikit?” Jelasnya sambil melirik ke arah mejaku.
            “Yaudah cari aja. Lagian aku udah mau pulang kok. Selamat mencari, Dik. Bye,” jawabku, lalu berjalan ke arah pintu.
            “Hati-hati, Len.” Katanya sambil tersenyum.
            Aku mengangguk sambil berlalu meninggalkannya. Tak terasa mataku berkaca-kaca setelah perjumpaan itu. Ia terlihat masih seperti dulu. Senyum dan tatapannya, sama seperti saat ia menaruh hati padaku. Dika adalah sahabatku. Ia selalu mencari jalan keluar ketika aku tertimpa masalah. Sampai satu saat, Rilla mengatakan bahwa Dika menyukaiku. Aku tak merasa senang mendengarnya. Tetapi malah kecewa karena sahabatku sendiri menaruh hati padaku. Dika mencoba mendekatiku. Tetapi aku tak perduli dengan usahanya. Beberapa waktu kemudian aku jatuh cinta padanya. Tapi apa yang terjadi, tak lama setelah itu Dika menjauhiku begitu saja tanpa sempat mengungkapkan perasaannya padaku.
            Aku masih tak habis pikir, kenapa dia setega itu padaku. Aku sangat kebingungan dan bertanya-tanya dalam hati. Aku selalu menduga-duga atas apa yang terjadi padanya. Mungkin aku tidak terlalu istimewa untuknya sehingga perjuangannya hanya cukup sampai disitu. Tak ada sedikitpun keinginan untuk bertanya tentang hal itu padanya.
***
            “Ma, Lena pulang,” teriakku.
            “Masih ingat jalan pulang, Len?” Mama membalas teriakanku dengan nada sinis.
            “Mama kok ngomong kaya gitu? Lena baru pulang lho ma. Apa mama gak suka kalo Lena pulang ke rumah? Apa mama gak suka Lena tinggal disini?” Jawabku dengan nada yang tinggi.
            “Lho kok kamu sewot sama mama sih? Ini mama kamu, Len”. Mama membalasnya dengan nada yang lebih tinggi.
            “Terserah mama aja! Lena gak mau terlalu panjang berdebat sama mama!”. Sambil berlalu begitu saja.
            Aku berjalan menuju kamarku. Menyusuri tangga dengan penuh amarah. Aku membenci pertanyaan mama yang sangat menyinggungku. Rasa sesal karena telah pulang ke rumah tumbuh dalam hatiku. Semakin cepat ku langkahkan kaki sampai aku menemui daun pintu yang terasa cocok untuk  melampiaskan semua amarah ini. Ku banting sekeras mungkin. Tak perduli apa yang akan dikatakan mama kepadaku setelah itu. Aku menunggu reaksi mama. Tetapi, mama tak sedikitpun menggubris tindakanku.
            Tak lama kemudian ku dengar suara mobil yang tak asing di telingaku. Itu suara mobil papa. Ku lihat dari jendela papa yang keluar dari mobil. Sejenak ku teringat apa yang selalu aku lakukan saat masih kecil ketika papa pulang. Aku berlari dan langsung memeluknya dengan erat. Menanyakan apa yang dia bawa untukku hari ini. Sedangkan, disisi lain mama tersenyum dan terlihat sangat bahgia. Aku sadar dulu dan sekarang adalah kebalikan. Semuanya telah hilang. Tak pernah kulihat mereka saling tersenyum lagi.
            Aku mendengar keributan lagi. Air mataku  terjatuh sangat deras. Kutatap foto yang terpajang rapi di atas meja disamping tempat tidurku. Kubanting benda itu sampai kacanya pecah tak berbentuk. Kuhempaskan tubuh ini ke kasur, lalu menatap langit-langit kamarku dan tertidur lelap.
***
            Aku terbangun. Segera kulihat jam dinding yang menunjukan pukul 21.00. Bergegas ku menuju kamar mandi dan membersihkan tubuhku. Setelah selesai, kukenakan kaos putih dan celana pendek selutut. Kusisir rambut hitam panjangku dengan perlahan, sambil menatap cermin. Mengapa raut wajahku terlihat sangat sedih. Ini sangat berbeda ketika kecil ku tatap benda ini, sangat ceria. Tuhan, kembalikan senyumku yang tulus. Bisikku dalam hati.
            Malam itu, aku terdiam didekat jendela. Kubuka perlahan jendela yang berukuran cukup besar. Dingin, basah. Ku hirup perlahan aroma tanah kering yang dibasahi oleh air hujan. Aku selalu suka dengan hujan. Seketika, hujan bisa  melepas semua kepenatanku selama ini.
            Kulihat sorot lampu sepeda motor dari kejauhan. Menembus derasnya hujan malam itu. Sepeda motor itu berhenti tepat di gerbang depan rumahku. orang yang mengendarainya terlihat memakai jaket hitam dan helm yang kacanya ditutup. Bergegas ku berjalan menuju luar kamar. Ku ambil stick baseball kepunyaan papaku. Kuturuni tangga dengan tergesa-gesa. Kulihat mama dan papa sedang sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Aku terus berlari ke arah pintu.
            Kubuka pintu depan rumahku. Aku terkejut karena tidak ada seorang pun di luar rumah. Aku makin ketakutan. Aku berpikir yang tidak-tidak. Siapa tahu orang itu bersembunyi di tempat lain disisi rumahku. Ah, sudahlah. Aku harus berpikiran positif. Mungkin orang tadi mencari barang yang terjatuh ketika mengendarai motor. Pikirku dalam hati.
            Aku kembali ke kamar tidurku. Kurebahkan kembali tubuhku diatas tempat tidur. Ku pejamkan kedua mataku dan terlelap sambil berharap ada kekuatan baru untuk jalani hari selanjutnya.
***
            Aku terperanjat dari tidurku yang lelap. Jantungku tersentak ketika mendengar bentakan papa yang lebih marah dari sebelumnya. Suaranya sangat keras dan mengerikan. Belum lagi, jeritan mama yang melengking. Membuat bulu kudukku merinding. Aku sangat ketakutan. Kutarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhku. Kuambil bantal dan kugunakan itu untuk menutup telingaku. Aku menangis. Sesak dalam dada kini melandaku. Aku masih bertanya-tanya. Apa yang mereka ributkan dipagi buta seperti ini?.Tanyaku dalam hati.
            Suara pertengkaran itu sudah hilang. Aku masih takut untuk keluar kamar. Tapi kuberanikan untuk keluar dan mempertanyakan semuanya.
            “Ma, pa ? Ada apa?. Jujur, batin Lena sangat tersiksa. Mama dan papa selalu bertengkar. Lena tak pernah tahu apa yang kalian pertengkarkan. Lena tak pernah ingin untuk tahu.  Lena sangat rindu masa kecil Lena yang dipenuhi oleh senyum kebahagiaan. Lena sangat rindu senyuman papa dan mama. Lena sangat rindu kasih sayang kalian.  Dimana hati kalian? Apa Lena sudah tidak penting lagi ? Apa Lena sudah tidak ada harganya lagi?. Setiap hari Lena harus merasakan sakit yang teramat dalam. Setiap hari Lena selalu menangisi keaadaan keluarga kita yang sudah tak semenyenangkan dulu. Ini sebabnya Lena tak betah dirumah, selalu tak ingin pulang ke rumah. Ma, pa, tolong sadarkan diri kalian masing-masing.” Ujarku panjang lebar, meluapkan semua kegelisahan dan emosiku sambil terisak.
            Seketika, mama dan papa terdiam. Kemudian, mereka berlalu tanpa ekspresi yang aku harapkan sebelumnya.
            Aku hanya mematung sambil memandang langkah kaki mereka. Kali ini, aku benar-benar kecewa. Aku tidak menyangka, hati kedua orang tuaku sudah benar-benar membatu. Akhirnya, kuputuskan untuk pergi dari rumah.
***
            Kukemasi semua bajuku. Kumasukkan semuanya ke dalam ransel besar. Tak membutukan waktu yang lama, semuanya sudah siap. Aku akan pergi ke tempat yang jauh. Tak ada seorang pun yang mengetahui keberadaanku.
            Kubuka pintu kamarku. Aku sangat terkejut. Ku melihat mama dan papa berdiri di depan pintu.
            “Len. Maafkan mama yang selama ini sudah berlaku tidak baik terhadap kamu. Mama benar-benar minta maaf Len. Mama berjanji akan jadi mama yang baik untuk kamu. Mama dan papa sudah berjanji tidak akan bertengkar lagi. Jujur, kami berdua pun sangat rindu masa-masa itu. Untuk itu, hari ini dan seterusnya kami akan seperti dulu lagi, Len. Lena tetap kesayangan mama dan papa kapanpun itu,” kata mama dengan lemah lembut.
            “Mama…” Bisikku lirih. Tak lama kemudian, air mataku menetes.
            “Len, papa minta maaf sudah menjadi papa yang buruk selama ini. Papa sadar papa tidak pernah memperdulikanmu. Tapi untuk sekarang, papa akan menjadi papa yang sebenarnya untuk kamu. Kita tidak akan pernah bertengar lagi sampai kapanpun. Papa berjanji Len. Lena mau memaafkan mama dan papa?” Ujar papa sambil menatap mataku dalam-dalam.
            “Iya pa, Lena sudah memaafkan kalian. Lena sayang papa dan mama selamanya.” Aku tersenyum menahan haru.
            Kami pun berpelukan. Semoga semuanya dapat kembali seperti dulu. Pintaku dalam hati.
***
            Hari demi hari ku jalani. Semua benar-benar kembali seperti dulu. Aku sangat bahagia dengan keadaan ini. Aku tak pernah menyangka semuanya bisa terjadi. Aku sangat bersyukur tuhan dapat memberikanku kesempatan untuk dapat merasakan kebahagiaan ini lagi.
            “Lena, bangun.. sudah siang, nak.” Suara lembut mama membangunkanku.
            “Iya ma, Lena sudah bangun,” jawabku sambil bangkit dari tempat tidur.
            Aku bersiap untuk pergi ke sekolah. Aku berjalan ke meja makan. Tak seperti biasanya, papa sudah duduk disana, sedangkan mama sedang sibuk menyiapkan makanan.
            “Eh, putri papa sudah bangun. Sini, kita sarapan dulu. Mama sudah siapkan nasi goreng kesukaan kamu.” Ajak papa sambil tersenyum ke arah aku dan mama.
            “Iya pa,” jawabku dengan senyum sumringah.
            Kami bertiga sarapan bersama. Meskipun terasa aneh, tapi inilah yang aku inginkan selama ini. Kami pun berbincang-bincang. Kemudian, papa mengantarku ke sekolah.
***
            Tak henti-hentinya aku menebar senyum kepada siapapun. Setibanya di sekolah aku langsung duduk rapi dan menyiapkan buku pelajaran dan masih tetap tersenyum.
            “Hayo… senyam senyum terus, ada apa sih? Bikin penasaran aja?” Tanya Rilla. Ia terlihat sangat keheranan karena sudah lama tidak melihat senyumku.
            “Aku seneng banget Rill. Soalnya keluarga aku udah kembali kaya dulu lagi.”
            “Oh ya? Syukurdeh. Aku ikut seneng Len,” sambil memelukku.
            “Makasih Rill, kamu memang the best.” Sambil membalas pelukannya.
            “Iya, Len. Udah sepatutnya kita senengkan kalo sahabat kita seneng. Lagian, kamu udah lama bangetkan mendambakan keadaan keluarga kamu yang kaya gitu?. Len, aku punya ini buat kamu,” sambil memberikan sepucuk surat.
            “Dari siapa Rill? Masih zaman nih kaya beginian?” Aku tertawa kecil dan berpikir bahwa ini adalah surat cinta murahan dari adik kelas.
            Kemudian, aku pun membuka surat itu dan membacanya.
            Dear Lena,
            Apa kabar Len?
            Sebelum kamu baca lebih lanjut, aku pengen kamu perem dan bayangin wajah jelek aku. Setelah itu, aku harap kamu bisa senyum. Karena sudah lama aku ga lihat senyum manis kamu.
            Lena, inget ga dulu kita pernah sedeket apa? Inget ga dulu waktu aku nganterin kamu pulang motor aku ketabrak mobil yang lagi mundur tapi kamu malah jalan terus tanpa nolongin aku? Inget ga waktu kita hujan-hujanan main basket? Inget ga semua waktu yang pernah kita lewati sama-sama. Kamu tahu, aku ga akan pernah lupa semuanya. Masa-masa terindah adalah saat sama kamu. Tapi semuanya musnah waktu aku menyerah gitu aja,aku ga berani buat ngungkapin semuanya karna dengar kamu sangat menyukai orang lain, aku Cuma takut kecewa karena nantinya kamu tolak aku.
            Kemarin malam aku beraniin diri buat datang ke rumah kamu dan bilang semuanya. Waktu itu hujan sangat deras, bajuku basah kuyup. Aku sudah sampai di depan rumah kamu, tapi aku gak yakin buat seberani itu. Lalu aku putuskan buat kembali ke rumah.
            Lena, coba keluar kelas dan lihat ke bawah. Lihat, ada apa di lapangan basket.
            Perasaanku sangat tak karuan membaca surat itu. Aku terdiam sejenak, dan bergegas keluar kelas. Aku tak melihat ada yang aneh disana. Aku mencoba kembali ke dalam kelas. Setibanya dipintu, aku mendengar suara Dika yang memanggilku.
            “Lena… Lihat ke bawah.”
            Aku sangat terkejut, dan aku menuruti panggilan itu. Aku melihat barisan orang membawa kertas dengan tulisan satu huruf per kertas. Aku melihat semua siswa keluar dari kelasnya dan suasana menjadi sangat riuh. Aku mencoba membaca tulisan itu, ternyata itu tulisan…
“I LOVE YOU, LENA. WOULD YOU BE MY GIRLFRIEND?”
Tak lama kemudian, Dika berbicara.
“Lena, aku minta maaf dulu aku ga seberani ini. Dulu aku terlalu cemen buat ngungkapin semuanya. Sekarang aku sadar, aku ga bisa mendem semuanya lama-lama. Kamu mau maafin aku dan jadi pacar aku?” Dika memandangku dengan wajah penuh harap.
            Pipiku memerah menyaksikan semuanya. Ini adalah apa yang pernah aku bayangkan saat hujan turun beberapa bulan lalu. Aku tak pernah menyangka ini bisa terjadi.
            Tiba-tiba, hujan turun sangat deras. Dika tetap berada ditengah lapangan. Sementara, aku masih terdiam di koridor atas. Aku tak tahu harus bagaimana. Demi kebaikannya, aku menyuruhnya untuk berteduh.
            “Dika, hujan, Dik. Minggir ke koridor! jangan disitu!” Aku berteriak.
            “Kamu jawab dulu pertanyaan aku.” Balas Dika.
            “Iya Dik. Aku mau jadi pacar kamu. Aku udah maafin kamu kok.” Jawabku.
            Aku berteriak sangat kencang. Semua orang melihat ke arahku. Kulihat Dika tersenyum sangat bahgia. Seketika hujan berhenti dan munculah pelangi. Ini adalah moment paling indah seumur hidupku.
            Tiba-tiba…
            Byurrr…
“Banjir, banjir, banjirr.., Ada banjir.” Aku sangat panic dan berteriak sekeras ku bisa.
***
            Kubuka kedua mataku, ku lihat papa yang sedang menggenggam botol air mineral.
“Len, udah sampe depan sekolah nih. Maaf ya papa nyipratin air ke muka kamu. Abisnya kamu susah banget buat dibangunin,” ujar papa.
“Eh, iya pa. udah sampe yah?” Tanyaku, sedikit salah tingkah. Kemudian merapikan rambutku.
“Iya. Cepet keluar gih, nanti gerbangnya keburu ditutup,” kata papa melihat kea rah gerbang sekolah.
“Oke pa, Lena pamit ya pa,” Sambil mencium tangan papa lalu membuka pintu mobil.
“Hati-hati, belajar yang bener ya,” sambil tersenyum.
“Siap pa,” jawabku semangat dan keluar dari mobil.
Aku berjalan menuju kelas sambil mengingat kembali kejadian dalam mimpiku tadi. Aku merasa sedikit kecewa karena itu hanyalah sebuah mimpi, tapi disisi lain aku merasa senang karena itu adalah mimpi yang paling indah yang pernah aku rasakan.