Minggu, 10 Mei 2015

TIRAI PUTIH SENJA


Oleh : Fitri Nursyahlina Batu Bara
Aku selalu suka dengan hujan, karena hujan membawa kedamaian dan ketentraman dalam hidupku. Hujan selalu membentuk tirai yang indah dan mempesona. Aroma tanah kering yang tesiram air hujan, menjadi aroma terapi yang sekejap menghilangkan stress dikepalaku akibat tugas sekolah yang menumpuk.
            Aku adalah seroang gadis berumur  16 tahun, aku tinggal bersama kedua orang tuaku di perumahan yang cukup sederhana. Ayahku adalah seorang pengusaha property  sukses dan ibuku adalah seorang designer handal. Meskipun orang tuaku hidup berkecukupan, tetapi mereka mendidiku dengan penuh kesederhanaan. Ayah dan ibuku berumur hampir kepala lima. Ibuku mandul, dan terpaksa harus melakukan program bayi tabung demi mendapatkan aku. Aku adalah anak satu-satunya yang mereka miliki, mungkin itu salah satu alasan mengapa mereka sangat menyayangiku.
            Hari-hari yang kulalui bersama ayah dan ibu terasa sangat indah, ayah begitu mencintai ibu, begitu pula sebaliknya.  meski mereka sangat sibuk dengan rutinitasnya masing-masing tapi mereka selalu menyempatan diri untuk menemaniku, meski hanya sekedar minum teh hangat dengan beberapa cemilan sambil bercengkrama dan menceritakan keluh kesah dibalkon bagian belakang rumahku.
            Orang tuaku tersenyum, dan terlihat begitu bahagia ketika tahu bahwa anak semata wayangnya sangat mencintai kedua orang tuanya. YaAllah, terimakasih telah memberikanku keluarga yang harmonis, jangan engkau ambil nikmat yang engkau berikan pada keluargaku.
***
            “Yukeu, besok ayah akan pergi ke Belanda untuk mengurus perusahaan keluarga kita yang sedang di ujung tanduk. Ayah akan tinggal di sana untuk beberapa bulan kedepan, kamu ga apa-apa kan ayah tinggal? untuk sementara waktu, kamu tinggal dengan ibu saja yah, nak”.
            “Kok lama banget sih yah? Yukeu gamau ayah pergi lama-lama”.
            “Tapi, ini udah jadi kewajiban ayah.  Kamu ngga mau kan perusahaannya bangkrut? nanti kalo bangkrut, sekolah kamu gimana? Kebutuhan kamu gimana? Kamu harus bisa ngerti. Lagi pula, sekarang tekhnologi sudah canggih, kamu bisa skyping kalo kamu kangen sama wajah ganteng ayah, iyakan yukeu?. Ayah ngga akan macem-macem kok disana. Ayah akan selalu sayang yukeu dan ibu”.
            “Tapi, kalau urusannya sudah selesai, ayah harus segera pulang. Yuke akan selalu kangen ayah”. Aku memeluk erat tubuh ayahku, sangat erat.
            Sedih rasanya melihat ayahku pergi dengan waktu yang cukup lama, meski sudah sering ditinggal olehnya, tetapi ayah tidak pernah meninggalkanku lebih dari satu bulan. Aku takut ada hal yang tidak diinginkan menghampiri ayah.
            Ayahku  berpamitan denganku dan ibu. Ayah mencium kening ibu sangat lama, tak selama biasanya. Ayah berpesan, bahwa kami harus selalu menjaga diri, dan selalu bersembahyang, meskipun untuk sementara ini ia tidak bisa menjadi imam disetiap shalat kami. Ayah juga berpesan kepadaku agar aku harus sekolah dengan benar agar kelak bisa meneruskan usaha keluarga.
            Mendengar hal itu, aku merasa bahwa seolah-olah usia ayah sudah tidak lama lagi. Seketika aku menjadi takut dan tidak rela ia pergi, tetapi aku tidak sanggup mencegahnya.
***
            Aku terperanjat dari tidurku, waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Aku bergegas mandi dan shalat subuh. Di dalam shalat, aku berdoa agar keluargaku tetap utuh dan selalu diberi rahmat-Nya.
Setelah itu, aku bersiap untuk pergi ke sekolah. Aku adalah siswa kelas X di SMA cahaya ilmu. Sekolahku merupakan salah satu sekolah favorit di kotaku.  Sebelum berangkat, aku berpamitan dengan ibu sambil mencium kedua pipinya. Aku tak sempat untuk sarapan karena jam sudah menunjukan pukul 06.35. Itu tandanya bel masuk sudah 10 menit lagi, sedangkan jarak dari rumah ke sekolah membutuhkan waktu 15 menit jika menggunakan angkutan umum.  Aku tidak mau terlambat hari ini, karena aku harus ulangan.
Aku pun berlari dari rumah, menyusuri jalanan komplek yang sepi sebelum akhirnya naik kendaraan umum. Tetapi, sebelum aku sampai ke halte, tiba-tiba ada motor yang melaju dengan kecepatan tinggi  melewati kubangan air hujan bekas kemarin, air yang berada tepat di sampingku terciprat, lantas seragam yang kukenakan basah dan kotor. Aku pun merasa kesal, tanpaku sadari aku marah dan berteriak.
“Woy!!! Kalo jalan hati-hati dong! Baju gue kotor nih! Dasar! Gak punya mata ya lo?!” sambil meletakan kedua tangan dipinggang.
            Seketika, motor yang tadi membuatku kesal berhenti, dan memutar balik kendaraannya. Pengendara motor itu menghampiriku. Ia mengenakan seragam batik persis seperti yang ku kenakan. Apa mungkin ia bersekolah di sekolah yang sama denganku, karena sebelumnya aku tak pernah melihat lelaki itu. Akupun berpikir bahwa ia akan meminta maaf dan mengajakku ke sekolah bersama-sama demi mempertakannggung jawabkan perbuatan yang ia perbuat kepadaku. Tapi, takdir berkata lain, apa yang ia katakan tak sesuai feeling ku.
            “Lo ngomong apa barusan? Cewek ko kasar? Kalo jalan tuh di pinggir, jangan di tengah jalan! Lagian hari gini masih jalan kaki? Kemana aja lo?” Pengendara motor itu menanggapi teriakanku dengan ucapan yang sangat pedas, serta dengan muka yang terlihat kesal.
            Aku hanya bisa terdiam, menyimpan amarahku. Ia terlihat sangat menyebalkan. Aku sangat illfeel kepadanya, karena sebelumnya aku tidak pernah melihat lelaki semenyebalkan itu. Tanpa berdosa, ia meninggalkanku begitu saja. Aku hanya bisa mengelus dada sambil menghela nafas panjang.
***
            Syukurlah, aku bisa sampai disekolah tepat waktu. Ini semua berkat sahabatku Rona, ia mendapatiku dipinggir jalan, dan mengajakku naik ke mobilnya untuk ke sekolah bersama-sama. Sebelum masuk ke kelas, aku pergi  ke toilet untuk membersihkan bajuku yang kotor.
 Aku sangat terkejut melihat sosok lelaki yang tadi pagi membuatku gerah. Hah? Itukan cowo rese yang tadi ketemu dijalan? Ko bisa yah makhluk rese itu sekelas sama gue? Oh tidaaaaaaakkk! . 
            Ternyata dia adalah siswa pindahan, pantas saja aku tidak pernah melihat dia sebelumnya. Menurut teman-temanku, termasuk Rona, dia adalah lelaki yang cool, ganteng, pintar, atlet basket, dia juga jago main gitar, pokoknya dia itu hampir sempurna. Tapi, menurutku dia itu cuma makhluk menyebalkan yang diciptakan tuhan untuk mengacaukan hidupku.
***
Di perpustakaan aku sibuk mencari buku yang kemarin tidak sempatku baca. Dengan sabar dan teliti, aku menyisir barisan buku-buku yang tersusun rapi di rak buku. Akhirnya aku menemukannya, tapi saat aku ingin mengambilnya, aku melihat dia di seberang rak dihadapanku yang sedang memperhatikanku.
“Heh! Cowo rese, ngapain lo ngeliatin gue?” Tanyaku keheranan.
“E..eh engga ko! Pede banget sih lo!” Jawabnya dengan nada yang gugup.
Aku pergi meninggalkannya dan mencari tempat untuk membaca buku.
Setelah aku menemukan tempat yang cocok untuk membaca, akupun segera membaca lembar demi lembar kumpulan syair indah Maulana Jalaluddin Rumi. Tetapi, ketia asyik dan terhanyut dengan syairnya, sesosok makhluk menjengkelkan itu mucul dihadapanku.
“Ehem”. Ia menegurku.
“Ehhheeem”. Ia menegurku untuk kedua kalinya, tetapi dengan nada yang sedikit meninggi.
“Uekhemmm”. Katanya, memperjelas dehemannya yang sedari tadi tidak ku respon.
“Ngapain sih lo kesini?” Aku mulai menjawab dengan sinis.
“Gue cuma kasian sama lo, dari tadi sendirian terus. Lo ga punya temen?”
“Gue ga butuh kasian dari lo. Gue lagi pengen ke perpus, tapi temen gue pengen ketaman. Gue jadi sendirian deh.” Aku mencoba menjawab pertanyaan yang dilontarkan makhluk menyebalkan ini dengan sabar.
“Oh, gituh. Gue kira lo ngga punya temen gara-gara lo itu orangnya songong.”
“Udah ngomongnya?”. Aku menanggapi pernyataannya dengan sedikit jutek dan berlalu meninggalkannya.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul  14.00, itu adalah waktu untuk mengakhiri  pelajaran. Aku bergegas membereskan buku-buku yang tergeletak di meja, dan memasukkannya kedalam tas. Ketika aku keluar dari pintu kelas. Tiba-tiba makhluk menyebalkan itu menarik tanganku, ia menyeretku beberapa centimeter dari kelas. Ia pun bertanya-tanya tentang pelajaran di kelas kepadaku, dia juga bilang, bahwa ia akan ke rumahku nanti malam untuk mempelajari beberapa materi pelajaran yang tidak ia mengerti. Sebenarnya, aku tidak ingin menolongnya, tetapi aku sangat iba karena ia memasang tampang yang memelas.
***
            Malamnya, Denis tiba dirumahku dan aku mengajarinya beberapa materi sampai ia tampak paham betul tentang semua yang aku ajarkan. Kami belajar di ruang tamu. Setelah selesai belajar, Denis dan aku bercerita tentang keluarga kami masing-masing, kami pun terlarut dalam perbincangan ini hingga waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Ia sempat meminta nomer  teleponku, setelah itu Denis berpamitan denganku dan ibu. Tidak lupa ia berterimakasih kepadaku.
            Aku pergi ke kamar dan merebahkan tubuhku di atas ranjang. Aku mengecek handphoneku dan ada pesan teks yang masuk dari nomer telepon yang tidak ku kenal. Yukeu, makasihya udah ngajarin aku. Makasiih banget, aku ngga tahu gimana kalau gak ada kamu. Hehe. Besok aku jemput kamu yah, kita berangkat ke sekolah bareng-bareng. Ternyata itu pesan dari Denis.
***
            Setelah malam itu, kami selalu bersama, ke kantin, perpustakaan, sampai  taman. aku juga diminta untuk menemaninya pada tournament basket yang ia ikuti. Aku sangat senang bisa berada di dekatnya, karena ia tidak seperti yang aku pikirkan sebelumnya.
            Setelah ia selesai bertanding, aku memberikannya minuman, ia tersenyum padaku. Kami pun duduk di samping lapangan basket yang perlahan mulai sepi ditinggalkan oleh para pemain karena hari sudah sore.
            “Keu, makasih yah”
            “Makasih buat apa?”
            “Makasih udah nyempetin waktunya buat nemenin aku main basket”.
            “Aku seneng ko bisa nemenin kamu”.
            Denis tersenyum padaku. Aku menyadari bahwa senyuman Denis membuat hatiku bergetar. Tiba-tiba, Denis memandangi wajahku seakan ia meneliti  bagian-bagian dari wajahku. Ia menyentuh tangan kananku dengan lembut, jantungku seakan mau copot, tubuhku seperti di serang demam. Aku sangat bingung dengan keadaan ini.
            “Keu, kamu cantik”.
            Aku membalas pujiannya dengan senyuman. Aku sangat gugup dengan pujian itu, tetapi kegugupanku hanya disimpan dalam hati, aku mencoba untuk tidak menampakkan kegugupanku. Setelah itu, kami pun bergegas pulang. Jarak antara lapangan basket dengan tempat tinggal kami tidak terlalu jauh. Kami memutuskan untuk berjaan kaki sambil menikmati senja dan gerimis menyertai sore yang indah hari itu.
            Seperti biasanya, jalanan menuju rumahku selalu sepi. Aku dan Denis jalan bergandengan, Denis menggenggam tanganku  sangat erat, seakan tak ingin kehilangan. Kami tidak hanya berdua, ada gerimis yang menemani. Tapi, tiba-tiba aku terkejut melihat darah yang menetes dari hidungnya.
            “Nis, hidung kamu berdarah”. Aku sangat terkejut dan khawatir melihat hal itu.
            “Kamu ngga usah khawatir, aku ga kenapa-napa ko, udah biasa”. Ujar Denis, seolah tidak ada apa-apa dengan dirinya.
            “Yakin?”. Aku bergegas membersihkan darah dengan sapu tangan milikku.
            Aku mencoba meyakini diri bahwa denis baik-baik saja.
***
            Setelah berjalan kira-kira 20 menit, akhirnnya aku sampai dirumah. Di rumah, aku membersihkan diri, dan istirahat sejenak di kursi di dalam kamarku, aku mengecek handphone ku dan ada pesan teks masuk dari denis, kami saling membalas pesan. Denis seakan memberi perhatian lebih padaku, begitu juga aku. Aku pun memejamkan mata sambil membayangkan kembali hal-hal yang telah aku lalui bersama denis hari ini, hingga akhirnya aku terlelap.
Tiba-tiba aku mendengar suara tangisan dari lantai satu rumahku. Ya, itu tangisan ibu. Aku berlari menyusuri  tangga, menuju kamar ibuku. Kudapati ibu yang terlihat sangat terpukul dan tangisannya sangat kencang. Air mata yang membasahi pipinya, begitu deras mengalir.
            “Ibu, ada apa bu? Ada apaa?”. Aku sangat takut dan kebingungan.
            “Bu, ada apa? Ibu jawab dong pertanyaan Yukeu!” aku pun meninggikan nada suaraku, karena aku semakin ketakutan.
            “ini yukeu! Coba kamu liat! Ini kelakuan papah kamu selama di Belanda, wajar saja papah tidak memberi kabar berita kepada mamah hampir satu bulan ini!” mamah menunjukanku beberapa lembar  foto.
 Kudapati seorang laki-laki yang sangat ku kenal dengan wanita bule sedang dalam keadaan bugil dan berbuat tidak senonoh.  Astaghfirullahaladzim. Itu ayah ku. Itu papah itu ayah!!!. Aku nyaris tidak percaya akan semua itu. Hatiku bagai tersayat sembilu ketika melihat foto yang begitu hina itu. Papah yang begitu aku sayang, berkhianat. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Hatiku hancur lebur, kacau. Pedih rasanya. Jadi, firasatku saat ayah akan terbang ke belanda salah, ia bukan akan menutup usianya, tetapi ia menutup mata hatinya untuk tetap setia kepada istri dan keluarganya. Ibu terlihat begitu terpukul, ia tak sanggup menerima kenyataan bahwa lelaki yang sangat ia cintai, dengan mudah berpaling kepada perempuan lain.
Aku terjatuh dan menangis sekeras-kerasnya. Keluar kamar dan  membanting semua foto ayah yang terpampang di setiap etalase ataupun dinding yag ada dirumah. Kemudian  berlari keluar rumah tanpa arah dan tujuan. Aku memberontak seperti orang tidak waras. Ya, aku telah kehilangan akal sehatku. Aku berlari menyusuri jalan, berlari secepat mungkin.
Hujan yang tadinya hanya rintik-rintik, kini menjadi hujan yang menyeramkan, hujan yang disertai petir dan kilat yang menggelegar. Dulu, semenyeramkan apapun hujan, aku selalu kagum dengan hujan. Tapi, hari ini, aku tak peduli dengan hujan. Tubuhku yang basah kuyup ini merasakan kebingungan yang sangat dahsyat. Aku tak tahu harus melangkah kemana, aku tak tahu tempat seperti apa yang akan membuatku damai.
Aku masih tak mengerti mengapa kaki ini berhenti berlari dilapangan basket. Aku terduduk, tertunduk sambil memeluk lututku, dibawah ring basket, berharap mendapat ketenangan.  Air mata ini semakin deras mengalir, sederas hujan sore ini, tubuhku menggigil, seperti tertusuk-tusuk jarum rasanya, tetapi tidak ada apa-apanya bila dibandingkan pedihnya hati menerima kenyataan pahit ini.
***
            “Yukeu, bangun! Udah siang, nak. Kamu harus sekolah! Ibu udah siapin sarapan buat kamu”
Aku bangun dari tidurku dan bergegas turun ke ruang makan untuk menghampiri ibu yang tengah menyiapkan makanan untukku. Aku mencium dan memeluknya, sambil meneteskan air mata.
“kamu kenapa Keu? Ko ga biasanya bangun tidur langsung meluk ibu?”. Ibuku seperti keheranan karena tingkah ku yang aneh.
“Yukeu sayang mamah..”
Hatiku sangat lega, kejadian itu hanya mimpi buruk, sebab aku tidak membaca do’a karena terlalu lelah sehabis menemani Denis  bermain basket.  Ayahku selingkuh itu hanya mimpi buruk. Betapa senangnya hati ini ketika tahu bahwa itu hanya mimpi. Aku bersyukur itu bukan kenyataan. Ibuku berkata, bahwa sore ini ia akan menjemput ayah di bandara. Aku sangat senang mendengar hal itu, aku sangat rindu dengan ayah. Tak sabar untuk memeluk dan menciumnya.
***
Hari ini tak seperti biasanya, Denis tidak masuk sekolah. Saat aku mengirim pesan teks untuk menanyakan kabarnya, Denis tidak membalasnya. Ada seribu pertanyaan yang menggelayuti  hatiku. Kemana Denis? Apakah dia baik-baik saja? Dimana denis? Kenapa ia tak masuk? Apakah ia marah padaku?.
Dua minggu telah berlalu. Tetapi Denis tidak pernah sekolah dan mengabariku. Aku semakin bingung dan penasaran. Ada apa dengan Denis?. Aku mencoba mendatangi rumahnya, tetapi hanya ada pembantunya di sana.
“Bi, Denis kemana sih? Ko ga pernah masuk sekolah?”.
“Bibi juga ngga tau neng, orang tua den Denis ngga pernah kasih tau bibi. Tapi, sebelum pergi dia nitipin surat buat neng”.
Bi ijah memberiku sepucuk surat berwarna biru yang terlihat sangat manis, aku segera membuka dan membacanya, Aku meneteskan air mata. Setelah itu, Bi Ijah memberiku kotak kecil yang berisi kalung yang liontinnya berbentuk huruf DY. DY untuk Denis dan Yukeu.
Dear Yukeu
Keu, makasih ya udah ngasih aku hari-hari yang indah. Kamu bikin hidup aku yang hitam putih jadi warna-warni Keu. Aku juga minta maaf kalo aku bikin kamu kebingungan, bikin kamu khawatir. Mungkin waktu kamu baca surat ini, aku udah ngga di Indonesia lagi, aku udah jauh dari kamu. Oh, iya jaga baik-baik kalungnya ya. Denis sayang Yukeu.
Denis
            Sedih yang teramat dalam kini ku rasakan. Hancur lebur rasanya hati ini, tak sanggup membayangkan hidupku tanpa Denis. Aku takut, sangat takut bila aku dan Denis tak akan pernah bertemu lagi. Tetapi kini aku harus berpikir lebih jernih. Berlari tanpa arah tak akan membuat keadaan Denis menjadi lebih baik. Akhirnya aku putuskan untuk mengambil air wudhu dan menjalankan ibadah shalat ashar, dan di akhiri dengan kesenduan sambil menatap kedua belah tangan, mendo’akan agar Denis di beri kesembuhan.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Hai.. Keep ahead to write Firi Batubara

Posting Komentar