Oleh : Fitri Nursyahlina Batu Bara
Aku selalu suka
dengan hujan, karena hujan membawa kedamaian dan ketentraman dalam hidupku.
Hujan selalu membentuk tirai yang indah dan mempesona. Aroma tanah kering yang
tesiram air hujan, menjadi aroma terapi yang
sekejap menghilangkan stress dikepalaku
akibat tugas sekolah yang menumpuk.
Aku
adalah seroang gadis berumur 16 tahun,
aku tinggal bersama kedua orang tuaku di perumahan yang cukup sederhana. Ayahku
adalah seorang pengusaha property sukses dan ibuku adalah seorang designer
handal. Meskipun orang tuaku hidup berkecukupan, tetapi mereka mendidiku dengan
penuh kesederhanaan. Ayah dan ibuku berumur hampir kepala lima. Ibuku mandul,
dan terpaksa harus melakukan program bayi tabung demi mendapatkan aku. Aku
adalah anak satu-satunya yang mereka miliki, mungkin itu salah satu alasan
mengapa mereka sangat menyayangiku.
Hari-hari
yang kulalui bersama ayah dan ibu terasa sangat indah, ayah begitu mencintai
ibu, begitu pula sebaliknya. meski
mereka sangat sibuk dengan rutinitasnya masing-masing tapi mereka selalu
menyempatan diri untuk menemaniku, meski hanya sekedar minum teh hangat dengan
beberapa cemilan sambil bercengkrama dan menceritakan keluh kesah dibalkon
bagian belakang rumahku.
Orang
tuaku tersenyum, dan terlihat begitu bahagia ketika tahu bahwa anak semata
wayangnya sangat mencintai kedua orang tuanya. YaAllah, terimakasih telah memberikanku keluarga yang harmonis, jangan
engkau ambil nikmat yang engkau berikan pada keluargaku.
***
“Yukeu,
besok ayah akan pergi ke Belanda untuk mengurus perusahaan keluarga kita yang
sedang di ujung tanduk. Ayah akan tinggal di sana untuk beberapa bulan kedepan,
kamu ga apa-apa kan ayah tinggal? untuk sementara waktu, kamu tinggal dengan
ibu saja yah, nak”.
“Kok
lama banget sih yah? Yukeu gamau ayah pergi lama-lama”.
“Tapi,
ini udah jadi kewajiban ayah. Kamu ngga
mau kan perusahaannya bangkrut? nanti kalo bangkrut, sekolah kamu gimana?
Kebutuhan kamu gimana? Kamu harus bisa ngerti. Lagi pula, sekarang tekhnologi
sudah canggih, kamu bisa skyping kalo
kamu kangen sama wajah ganteng ayah, iyakan yukeu?. Ayah ngga akan macem-macem
kok disana. Ayah akan selalu sayang yukeu dan ibu”.
“Tapi,
kalau urusannya sudah selesai, ayah harus segera pulang. Yuke akan selalu
kangen ayah”. Aku memeluk erat tubuh ayahku, sangat erat.
Sedih
rasanya melihat ayahku pergi dengan waktu yang cukup lama, meski sudah sering
ditinggal olehnya, tetapi ayah tidak pernah meninggalkanku lebih dari satu
bulan. Aku takut ada hal yang tidak diinginkan menghampiri ayah.
Ayahku berpamitan denganku dan ibu. Ayah mencium
kening ibu sangat lama, tak selama biasanya. Ayah berpesan, bahwa kami harus
selalu menjaga diri, dan selalu bersembahyang, meskipun untuk sementara ini ia
tidak bisa menjadi imam disetiap shalat kami. Ayah juga berpesan kepadaku agar aku
harus sekolah dengan benar agar kelak bisa meneruskan usaha keluarga.
Mendengar
hal itu, aku merasa bahwa seolah-olah usia ayah sudah tidak lama lagi. Seketika
aku menjadi takut dan tidak rela ia pergi, tetapi aku tidak sanggup
mencegahnya.
***
Aku
terperanjat dari tidurku, waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Aku bergegas
mandi dan shalat subuh. Di dalam shalat, aku berdoa agar keluargaku tetap utuh
dan selalu diberi rahmat-Nya.
Setelah itu, aku
bersiap untuk pergi ke sekolah. Aku adalah siswa kelas X di SMA cahaya ilmu.
Sekolahku merupakan salah satu sekolah favorit di kotaku. Sebelum berangkat, aku berpamitan dengan ibu
sambil mencium kedua pipinya. Aku tak sempat untuk sarapan karena jam sudah
menunjukan pukul 06.35. Itu tandanya bel masuk sudah 10 menit lagi, sedangkan
jarak dari rumah ke sekolah membutuhkan waktu 15 menit jika menggunakan
angkutan umum. Aku tidak mau terlambat
hari ini, karena aku harus ulangan.
Aku pun berlari
dari rumah, menyusuri jalanan komplek yang sepi sebelum akhirnya naik kendaraan
umum. Tetapi, sebelum aku sampai ke halte, tiba-tiba ada motor yang melaju
dengan kecepatan tinggi melewati
kubangan air hujan bekas kemarin, air yang berada tepat di sampingku terciprat,
lantas seragam yang kukenakan basah dan kotor. Aku pun merasa kesal, tanpaku
sadari aku marah dan berteriak.
“Woy!!! Kalo
jalan hati-hati dong! Baju gue kotor nih! Dasar! Gak punya mata ya lo?!” sambil
meletakan kedua tangan dipinggang.
Seketika,
motor yang tadi membuatku kesal berhenti, dan memutar balik kendaraannya.
Pengendara motor itu menghampiriku. Ia mengenakan seragam batik persis seperti
yang ku kenakan. Apa mungkin ia bersekolah di sekolah yang sama denganku,
karena sebelumnya aku tak pernah melihat lelaki itu. Akupun berpikir bahwa ia
akan meminta maaf dan mengajakku ke sekolah bersama-sama demi mempertakannggung
jawabkan perbuatan yang ia perbuat kepadaku. Tapi, takdir berkata lain, apa
yang ia katakan tak sesuai feeling
ku.
“Lo ngomong apa barusan? Cewek ko
kasar? Kalo jalan tuh di pinggir, jangan di tengah jalan! Lagian hari gini
masih jalan kaki? Kemana aja lo?” Pengendara motor itu menanggapi teriakanku
dengan ucapan yang sangat pedas, serta dengan muka yang terlihat kesal.
Aku
hanya bisa terdiam, menyimpan amarahku. Ia terlihat sangat menyebalkan. Aku
sangat illfeel kepadanya, karena
sebelumnya aku tidak pernah melihat lelaki semenyebalkan itu. Tanpa berdosa, ia
meninggalkanku begitu saja. Aku hanya bisa mengelus dada sambil menghela nafas
panjang.
***
Syukurlah,
aku bisa sampai disekolah tepat waktu. Ini semua berkat sahabatku Rona, ia
mendapatiku dipinggir jalan, dan mengajakku naik ke mobilnya untuk ke sekolah
bersama-sama. Sebelum masuk ke kelas, aku pergi ke toilet untuk membersihkan bajuku yang
kotor.
Aku sangat terkejut melihat sosok lelaki yang
tadi pagi membuatku gerah. Hah? Itukan
cowo rese yang tadi ketemu dijalan? Ko bisa yah makhluk rese itu sekelas sama
gue? Oh tidaaaaaaakkk! .
Ternyata
dia adalah siswa pindahan, pantas saja aku tidak pernah melihat dia sebelumnya.
Menurut teman-temanku, termasuk Rona, dia adalah lelaki yang cool, ganteng, pintar, atlet basket, dia
juga jago main gitar, pokoknya dia itu hampir sempurna. Tapi, menurutku dia itu
cuma makhluk menyebalkan yang diciptakan tuhan untuk mengacaukan hidupku.
***
Di perpustakaan aku
sibuk mencari buku yang kemarin tidak sempatku baca. Dengan sabar dan teliti,
aku menyisir barisan buku-buku yang tersusun rapi di rak buku. Akhirnya aku
menemukannya, tapi saat aku ingin mengambilnya, aku melihat dia di seberang rak
dihadapanku yang sedang memperhatikanku.
“Heh! Cowo rese,
ngapain lo ngeliatin gue?” Tanyaku keheranan.
“E..eh engga ko!
Pede banget sih lo!” Jawabnya dengan nada yang gugup.
Aku pergi
meninggalkannya dan mencari tempat untuk membaca buku.
Setelah aku
menemukan tempat yang cocok untuk membaca, akupun segera membaca lembar demi
lembar kumpulan syair indah Maulana Jalaluddin Rumi. Tetapi, ketia asyik dan
terhanyut dengan syairnya, sesosok makhluk menjengkelkan itu mucul dihadapanku.
“Ehem”. Ia
menegurku.
“Ehhheeem”. Ia
menegurku untuk kedua kalinya, tetapi dengan nada yang sedikit meninggi.
“Uekhemmm”. Katanya,
memperjelas dehemannya yang sedari tadi tidak ku respon.
“Ngapain sih lo
kesini?” Aku mulai menjawab dengan sinis.
“Gue cuma kasian
sama lo, dari tadi sendirian terus. Lo ga punya temen?”
“Gue ga butuh
kasian dari lo. Gue lagi pengen ke perpus, tapi temen gue pengen ketaman. Gue
jadi sendirian deh.” Aku mencoba menjawab pertanyaan yang dilontarkan makhluk
menyebalkan ini dengan sabar.
“Oh, gituh. Gue
kira lo ngga punya temen gara-gara lo itu orangnya songong.”
“Udah
ngomongnya?”. Aku menanggapi pernyataannya dengan sedikit jutek dan berlalu
meninggalkannya.
***
Waktu sudah
menunjukkan pukul 14.00, itu adalah
waktu untuk mengakhiri pelajaran. Aku
bergegas membereskan buku-buku yang tergeletak di meja, dan memasukkannya
kedalam tas. Ketika aku keluar dari pintu kelas. Tiba-tiba makhluk menyebalkan
itu menarik tanganku, ia menyeretku beberapa centimeter dari kelas. Ia pun
bertanya-tanya tentang pelajaran di kelas kepadaku, dia juga bilang, bahwa ia
akan ke rumahku nanti malam untuk mempelajari beberapa materi pelajaran yang
tidak ia mengerti. Sebenarnya, aku tidak ingin menolongnya, tetapi aku sangat
iba karena ia memasang tampang yang memelas.
***
Malamnya,
Denis tiba dirumahku dan aku mengajarinya beberapa materi sampai ia tampak
paham betul tentang semua yang aku ajarkan. Kami belajar di ruang tamu. Setelah
selesai belajar, Denis dan aku bercerita tentang keluarga kami masing-masing,
kami pun terlarut dalam perbincangan ini hingga waktu menunjukan pukul sepuluh
malam. Ia sempat meminta nomer
teleponku, setelah itu Denis berpamitan denganku dan ibu. Tidak lupa ia
berterimakasih kepadaku.
Aku
pergi ke kamar dan merebahkan tubuhku di atas ranjang. Aku mengecek handphoneku dan ada pesan teks yang
masuk dari nomer telepon yang tidak ku kenal. Yukeu, makasihya udah ngajarin aku. Makasiih banget, aku ngga tahu
gimana kalau gak ada kamu. Hehe. Besok aku jemput kamu yah, kita berangkat ke
sekolah bareng-bareng. Ternyata itu pesan dari Denis.
***
Setelah
malam itu, kami selalu bersama, ke kantin, perpustakaan, sampai taman. aku juga diminta untuk menemaninya
pada tournament basket yang ia ikuti. Aku sangat senang bisa berada di dekatnya,
karena ia tidak seperti yang aku pikirkan sebelumnya.
Setelah
ia selesai bertanding, aku memberikannya minuman, ia tersenyum padaku. Kami pun
duduk di samping lapangan basket yang perlahan mulai sepi ditinggalkan oleh
para pemain karena hari sudah sore.
“Keu,
makasih yah”
“Makasih
buat apa?”
“Makasih
udah nyempetin waktunya buat nemenin aku main basket”.
“Aku
seneng ko bisa nemenin kamu”.
Denis
tersenyum padaku. Aku menyadari bahwa senyuman Denis membuat hatiku bergetar. Tiba-tiba,
Denis memandangi wajahku seakan ia meneliti bagian-bagian dari wajahku. Ia menyentuh
tangan kananku dengan lembut, jantungku seakan mau copot, tubuhku seperti di
serang demam. Aku sangat bingung dengan keadaan ini.
“Keu,
kamu cantik”.
Aku
membalas pujiannya dengan senyuman. Aku sangat gugup dengan pujian itu, tetapi
kegugupanku hanya disimpan dalam hati, aku mencoba untuk tidak menampakkan
kegugupanku. Setelah itu, kami pun bergegas pulang. Jarak antara lapangan
basket dengan tempat tinggal kami tidak terlalu jauh. Kami memutuskan untuk berjaan
kaki sambil menikmati senja dan gerimis menyertai sore yang indah hari itu.
Seperti
biasanya, jalanan menuju rumahku selalu sepi. Aku dan Denis jalan bergandengan,
Denis menggenggam tanganku sangat erat,
seakan tak ingin kehilangan. Kami tidak hanya berdua, ada gerimis yang
menemani. Tapi, tiba-tiba aku terkejut melihat darah yang menetes dari
hidungnya.
“Nis,
hidung kamu berdarah”. Aku sangat terkejut dan khawatir melihat hal itu.
“Kamu
ngga usah khawatir, aku ga kenapa-napa ko, udah biasa”. Ujar Denis, seolah
tidak ada apa-apa dengan dirinya.
“Yakin?”.
Aku bergegas membersihkan darah dengan sapu tangan milikku.
Aku
mencoba meyakini diri bahwa denis baik-baik saja.
***
Setelah
berjalan kira-kira 20 menit, akhirnnya aku sampai dirumah. Di rumah, aku
membersihkan diri, dan istirahat sejenak di kursi di dalam kamarku, aku
mengecek handphone ku dan ada pesan teks masuk dari denis, kami saling membalas
pesan. Denis seakan memberi perhatian lebih padaku, begitu juga aku. Aku pun
memejamkan mata sambil membayangkan kembali hal-hal yang telah aku lalui
bersama denis hari ini, hingga akhirnya aku terlelap.
Tiba-tiba aku
mendengar suara tangisan dari lantai satu rumahku. Ya, itu tangisan ibu. Aku
berlari menyusuri tangga, menuju kamar
ibuku. Kudapati ibu yang terlihat sangat terpukul dan tangisannya sangat
kencang. Air mata yang membasahi pipinya, begitu deras mengalir.
“Ibu,
ada apa bu? Ada apaa?”. Aku sangat takut dan kebingungan.
“Bu,
ada apa? Ibu jawab dong pertanyaan Yukeu!” aku pun meninggikan nada suaraku, karena
aku semakin ketakutan.
“ini
yukeu! Coba kamu liat! Ini kelakuan papah kamu selama di Belanda, wajar saja
papah tidak memberi kabar berita kepada mamah hampir satu bulan ini!” mamah
menunjukanku beberapa lembar foto.
Kudapati seorang laki-laki yang sangat ku
kenal dengan wanita bule sedang dalam keadaan bugil dan berbuat tidak senonoh. Astaghfirullahaladzim.
Itu ayah ku. Itu papah itu ayah!!!. Aku nyaris tidak percaya akan semua
itu. Hatiku bagai tersayat sembilu ketika melihat foto yang begitu hina itu. Papah
yang begitu aku sayang, berkhianat. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Hatiku hancur
lebur, kacau. Pedih rasanya. Jadi, firasatku saat ayah akan terbang ke belanda
salah, ia bukan akan menutup usianya, tetapi ia menutup mata hatinya untuk
tetap setia kepada istri dan keluarganya. Ibu terlihat begitu terpukul, ia tak
sanggup menerima kenyataan bahwa lelaki yang sangat ia cintai, dengan mudah
berpaling kepada perempuan lain.
Aku terjatuh dan
menangis sekeras-kerasnya. Keluar kamar dan
membanting semua foto ayah yang terpampang di setiap etalase ataupun
dinding yag ada dirumah. Kemudian berlari
keluar rumah tanpa arah dan tujuan. Aku memberontak seperti orang tidak waras.
Ya, aku telah kehilangan akal sehatku. Aku berlari menyusuri jalan, berlari
secepat mungkin.
Hujan yang tadinya
hanya rintik-rintik, kini menjadi hujan yang menyeramkan, hujan yang disertai
petir dan kilat yang menggelegar. Dulu, semenyeramkan apapun hujan, aku selalu
kagum dengan hujan. Tapi, hari ini, aku tak peduli dengan hujan. Tubuhku yang
basah kuyup ini merasakan kebingungan yang sangat dahsyat. Aku tak tahu harus
melangkah kemana, aku tak tahu tempat seperti apa yang akan membuatku damai.
Aku masih tak
mengerti mengapa kaki ini berhenti berlari dilapangan basket. Aku terduduk,
tertunduk sambil memeluk lututku, dibawah ring basket, berharap mendapat
ketenangan. Air mata ini semakin deras
mengalir, sederas hujan sore ini, tubuhku menggigil, seperti tertusuk-tusuk
jarum rasanya, tetapi tidak ada apa-apanya bila dibandingkan pedihnya hati
menerima kenyataan pahit ini.
***
“Yukeu, bangun! Udah siang, nak.
Kamu harus sekolah! Ibu udah siapin sarapan buat kamu”
Aku bangun dari
tidurku dan bergegas turun ke ruang makan untuk menghampiri ibu yang tengah
menyiapkan makanan untukku. Aku mencium dan memeluknya, sambil meneteskan air
mata.
“kamu kenapa Keu?
Ko ga biasanya bangun tidur langsung meluk ibu?”. Ibuku seperti keheranan
karena tingkah ku yang aneh.
“Yukeu sayang
mamah..”
Hatiku sangat
lega, kejadian itu hanya mimpi buruk, sebab aku tidak membaca do’a karena terlalu
lelah sehabis menemani Denis bermain
basket. Ayahku selingkuh itu hanya mimpi
buruk. Betapa senangnya hati ini ketika tahu bahwa itu hanya mimpi. Aku
bersyukur itu bukan kenyataan. Ibuku berkata, bahwa sore ini ia akan menjemput
ayah di bandara. Aku sangat senang mendengar hal itu, aku sangat rindu dengan
ayah. Tak sabar untuk memeluk dan menciumnya.
***
Hari ini tak
seperti biasanya, Denis tidak masuk sekolah. Saat aku mengirim pesan teks untuk
menanyakan kabarnya, Denis tidak membalasnya. Ada seribu pertanyaan yang
menggelayuti hatiku. Kemana Denis? Apakah dia baik-baik saja?
Dimana denis? Kenapa ia tak masuk? Apakah ia marah padaku?.
Dua minggu telah berlalu.
Tetapi Denis tidak pernah sekolah dan mengabariku. Aku semakin bingung dan
penasaran. Ada apa dengan Denis?. Aku
mencoba mendatangi rumahnya, tetapi hanya ada pembantunya di sana.
“Bi, Denis kemana
sih? Ko ga pernah masuk sekolah?”.
“Bibi juga ngga
tau neng, orang tua den Denis ngga pernah kasih tau bibi. Tapi, sebelum pergi
dia nitipin surat buat neng”.
Bi ijah memberiku
sepucuk surat berwarna biru yang terlihat sangat manis, aku segera membuka dan
membacanya, Aku meneteskan air mata. Setelah itu, Bi Ijah memberiku kotak kecil
yang berisi kalung yang liontinnya berbentuk huruf DY. DY untuk Denis dan Yukeu.
Dear Yukeu
Keu, makasih ya udah ngasih aku hari-hari yang indah.
Kamu bikin hidup aku yang hitam putih jadi warna-warni Keu. Aku juga minta maaf
kalo aku bikin kamu kebingungan, bikin kamu khawatir. Mungkin waktu kamu baca
surat ini, aku udah ngga di Indonesia lagi, aku udah jauh dari kamu. Oh, iya
jaga baik-baik kalungnya ya. Denis sayang Yukeu.
Denis
Sedih yang teramat dalam kini ku
rasakan. Hancur lebur rasanya hati ini, tak sanggup membayangkan hidupku tanpa
Denis. Aku takut, sangat takut bila aku dan Denis tak akan pernah bertemu lagi.
Tetapi kini aku harus berpikir lebih jernih. Berlari tanpa arah tak akan
membuat keadaan Denis menjadi lebih baik. Akhirnya aku putuskan untuk mengambil
air wudhu dan menjalankan ibadah shalat ashar, dan di akhiri dengan kesenduan
sambil menatap kedua belah tangan, mendo’akan agar Denis di beri kesembuhan.
1 komentar:
Hai.. Keep ahead to write Firi Batubara
Posting Komentar